Dinamika Perkembangan Masyarakat Hukum Adat Waris bagi Masyarakat Adat Batak Karo
29 Sep

Dinamika Perkembangan Masyarakat Hukum Adat Waris bagi Masyarakat Adat Batak Karo

By 
in 2018
(1 Vote)

Disusun oleh:
TUMBUR PALTI DANIEL HUTAPEA, SH., MH.
RITA HERLINA, SH., LLM.
MOCH. IQBAL, SH., MH.

 

Penerbit:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung Republik Indonesia

Tahun:
2018

Tebal:
xiv, 104 hlm; 16 x 23 cm

ISBN:
978-602-5700-14-9

Bahasa:
Indonesia

CATEGORIES: Buku, 2018
TAG: Buku

Description
Masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi. Masyarakat sebagai sistem sosial merupakan wadah bagi anggota-anggotanya di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Di dalam masyarakat itu pula, manusia yang satu mengadakan hubungan dengan manusia lainnya, maka proses interaksi senantiasa berlangsung tanpa henti. Dengan demikian setiap individu dalam masyarakat sepatutnya saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (Maret, 1999), masyarakat adat dirumuskan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Kamus Besar Bahasa Indonesia secara daring mendefinisikan masyarakat adat, yaitu masyarakat yang hidup di suatu wilayah berdasarkan kesamaan leluhur, diatur oleh hukum adat atau lembaga adat, dan memiliki hak atas hasil dan pengelolaan wilayah mereka. Dengan demikian di dalam lingkungan masyarakat adat itulah bersemayam dan berlaku hukum adat. Hukum adat itu adalah hukum kebiasaan, hampir identik dengan pendapat Prof. Esmi Warrasih yang dalam orasinya menyatakan bahwa norma yang paling dekat dengan manusia adalah norma kebiasaan. Berangkat dari kenyataan sehari-hari melalui ujian keteraturan, keajegan dan kesadaran menerimanya sebagai kaidah dalam masyarakat. Ketertiban yang terjadi secara demikian itu dapat dijumpai di dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana, artinya komunitasnya tidak luas, hubungan kekerabatan masih cukup erat, corak-corak kebersamaan dan magis-religius cukup kuat. Masyarakat yang hidup dalam komunitas tertentu, memiliki pemimpin, mempunyai wilayah dan batas-batasnya, serta memiliki rasa kebersamaan dalam kelompok untuk menjalani kehidupannya dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat.

Ter Haar dalam bukunya “Beginselen en stelsel van het adatrecht” menyatakan bahwa masyarakat hukum adat sebagai, “…geordende groepen van blijvend karakter met eigen bewind en eigen materieel en immaterieel vermogen” (…kelompok-kelompok teratur yang sifatnya tetap dengan pemerintahannya sendiri, yang memiliki benda-benda materiel dan imateriel). Dalam konteks tersebut, pada masyarakat hukum adat dapat tercipta keteraturan dalam suatu kelompok masyarakat dengan memuat pemimpin beserta asetnya. Mengimplementasikan keteraturan dalam kelompok masyarakat diperlukan norma atau hukum. Secara filosofis, sejalan dengan adagium filsuf kuno Marcus Tullius Cicero, dimana ada masyarakat di situ ada hukum (ubi societas ibi ius). Berkaitan dengan hal tersebut, hukum berperan untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya, melindungi kepentingan anggota-anggota masyarakat, dan menjamin tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam masyarakat. Masyarakat hukum adat di Indonesia adalah merupakan suatu masyarakat yang warga warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial.

Wilayah negara Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau, dan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa yang beranekaragam. Keanekaragaman penduduk di Indonesia terdiri dari beberapa suku bangsa, budaya, adat istiadat dan agama yang berbeda. Di Provinsi Sumatera Utara terdapat berbagai ragam suku, salah satunya adalah suku Batak. Van Vollenhoven dalam bukunya “Adatrecht I” mengklaster seluruh daerah di Indonesia dalam 19 lingkaran hukum adat, salah satunya yakni pengklasteran Tanah Gayo-Alas dan Batak beserta Nias (Gayo Lueus, Tanah Alas, Tanah Batak/Tapanuli). Wilayah Tapanuli Utara mencakup Batak Pakpak (Barus), Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti), sedangkan wilayah Tapanuli Selatan mencakup Padang Lawas (tano sapanjang), Angkola, Mandailing (Sayur Matinggi).

Suku Batak terbagi menjadi beberapa sub suku, salah satunya yaitu Batak Karo (selanjutnya disebut “suku Karo”). Masyarakatnya mendiami dataran tinggi dikenal dengan sebutan “Tanah Karo”, secara administratif termasuk wilayah Kabupaten Karo. Masyarakat Karo terdapat sistem marga (klen), memiliki bahasa yang familier dengan sebutan “cakap karo”, serta sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya. Banyaknya jumlah marga dan sub marga pada masyarakat Batak Karo, sehingga hasil Keputusan Kongres Kebudayaan Karo tanggal 3 Desember 1955 ditetapkan pemakaian marga hanya berdasarkan “marga silima” yaitu Ginting, Sembiring, Karo-Karo, Perangin-angin dan Tarigan.

Dalam pelaksanaan upacara adat, umumnya masyarakat Karo berpakaian dominan berwarna merah dan hitam yang dikombinasikan dengan ornamen-ornamen emas. Masyarakat Karo dalam acara-acara adat tertentu melakukan tarian (landek) diiringi dengan alat musik tradisional tersendiri.

 

Read 9810 times Last modified on Minggu, 29 September 2019 21:19
Login to post comments

Hubungi Kami

Badan Strategi Kebijakan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI

Kantor: Jl. Cikopo Selatan Desa Sukamaju, Kec. Megamendung
Bogor, Jawa Barat 16770

Telepon: (0251) 8249520, 8249522, 8249531, 8249539
Faks: (0251) 8249522, 8249539
HP Whatsapp: 082114824160 (Pusdiklat Menpim)

Surel: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.